Pematik Kirana

[DRAFT] PEMATIK KIRANA

by dibashafira
credit to owner

#1
Bersama mentari dalam lautan biru. Kembali rindu segar pagi ini. Senandung kicauan burung bergemericik bersamaan udara dingin. Bersamaan dengan kondisi malang diriku saat ini, membuat aku yakin betapa miris hidupku dibanding yang lain. Tak lama ada suara langkah kaki menghampiri aku yang tak berdaya. Ah, ternyata itu kakak. Orang paling setia di dunia ini. Seperti biasa menanyakan bagaimana perkembangan tubuhku. Kujawab dengan ceria bahwa badan yang kubopong ini sudah sangat membaik. Walau kau mungkin tahu bagaimana rasanya menjadi seseorang yang mengidap kanker. Klise sekali hidupku. Yah pasti sulit memang kan mendengarnya saja aku sudah bisa merasakan sakit linu ke sendi-sendi. Dan kini kurasakan itu setiap hari dengan rasa dahsyat lain yang sebelumnya tak pernah kubayangkan. Ah sudahlah. Kakaku sudah mengajaku untuk makan, nasi goreng ebi kesukaanku. Kurasakan sejenak suasana yang sebetulnya aku tak mau beranjak pergi. Kemudian aku masuk ke rumah kecil tempat yang selalu menjadi saksi bisu.

#2
Kudapati ibuku sedang kerepotan mempersiapkan makanan untuk keluargaku. Lalu aku tersenyum. Harmonis. Dalam meja itu ada 5 piring berpasangan dengan sendok garpu. Sewadah penuh nasi yang cukup untuk kita semua. Ada sayur lodeh, asin dan sambel. Tak luput masakan khas ibuku. Nasi goreng ebi. Kalau aku boleh berpendapat, ini adalah masakan terenak di dunia yang harus dicicipi. Atau perlu chef terkenal datang kemari dan bertanding dengan ibuku? Berani jamin deh. Kami pun mulai makan malam saat itu. Suasananya hening. Semua sibuk dengan makanannya. Papaku sangat terlihat lahap berusaha memasukan semua makanan itu. Aku tersenyum kecil. Tak luput adikku mengejek dengan usil cara makan papa. Kami tertawa gembira. Ingin rasanya merasakan suasana yang terbuka ini. Tiba-tiba suara bel pintu berbunyi dengan cepat dan agak malas kakaku membukakan pintu. Ternyata itu Om Ivan. Dia keponakan dari mamaku. Sepupu kakakku. Semua terkejut dengan kedatangannya. Setelan gunung sekali penampilannya. Mengenakan kaos polos item, rambut ala spike, kacamata gunung, celana gunung, sendal gunung, dan juga tas gunung dipangkulnya dengan nyaman. Terkesima. Dia terlihat mantap sekali. Mamaku langsung sibuk mempersilahkan keponakannya  itu untuk masuk dan menyuruh adikku untuk membuatkan minum. 

#3
Malam itu entah mengapa aku merasakan betapa melilitnya perut ini. Rasanya ingin aku lepaskan kram spekta yang terjadi di perutku. Hampir setngah teriak aku mencoba untuk tak menyusahkan orang lain. Aku berjalan menuju kamar mandi untuk mengambil obat anti kambuh drai dokter. Tak sempat aku membuka gagang pintu, om ivan datang dan seperti heran melihat aku yang sedang menahan sakit sambil terus memengangi perut dan mengigit bawah bibirku. Aku mengabaikannya dan lebih peduli dengan pikiran kapan berakhir penderitaan ini. Segeralah aku meminuk obat yang manjur itu, setengah jam sudah aku berada di kamar mandi hingga hilang rasa pedih yang kurasakan. Ketika keluar dari kamar mandi kudapati om ivan yang sepertinya telah lama menunggu karena ku lihat dia menyelendangkan handuk dilehernya. Aku merasa malu karena sepertinya dari sebelum aku masuk kamar mandi dia sudah berkesiap. Aku berlari masuk ke kamar tanpa berkata apapun pada om ivan.

#4
Pagi ini ternyata cerah memberi semangat bagiku. Dalam termanguku. Aku menengok ke kamar ibu dan papa mereka sedang tertidur pulas. Jika memandang wajah mereka aku selalu merindukan tatapanhalus kasih sayang yang selalu mereka berikan dengan tulus. Kamar adikku sangat berantakan. Tadinya ingin aku ajak berlari pagi tapi kuurungkan karena merasa kasihan dia sedang berusaha keras menghadapi ujian sekolahnya. Rasa dingin yang menyegarkan. Kukenakan sepatu kets kesayanganku, mungkin sedikit olahraga memberikan nafas buat darahku di dalam tubuh yang payah ini. Satu keliling komplek sudah aku lalui. Walau sedikit capek, tapi aku terus berlari. Aku harus sehat. Ketika asyik berlari, aku memandang seorang yang lama sekali tak berjumpa. 
“Dim?” sapaku sambil ragu untuk melihat sosoknya.
Dia hanya terdiam sambil melihatku heran. Ketus sekali.
“oh eh kayanya saya salah orang, maaf mas” ucapku terbata agak malu. 
Aku pun berlalu kembali berlari menjauhi seseorang itu. Mungkin memang bukan dia. Sesampai di rumah, kulihat ibuku sedang membuatkan sarapan dibantu kakaku. Semua orang sibuk. Ayah sudah siap dengan seragamnya. Gina adikku sibuk berusaha menghapalkan teks yang dari tadi dipegangi. Dan juga ah sekarang ada om ivan yang daritadi santai membaca Koran pagi. Setelah sarapan semua orang berlalu melakukan aktivitasnya masing-masing. Kecuali aku. Yah aku yang baru lulus sekolah tahun ini. Tidak kuliah dan tidak bekerja. 

#5
Aku selalu membantu ibu dirumah, karena kami memiliki usaha kue  kecil dirumah. Seperti biasa aku membuat adonan yang akan dijadikan kue. Aku senang melakukannya, membuatkan kue manis untuk semua orang.

“enak sekali kuenya, yummy” kataku sambil terus memakan kue bikinan aku dan ibu.
“manis kaya kamu. Hihi” ledek ibuku sambil cekikan
“ibuku lah yang paling manis didunia ini.” Ucapku sambil tersenyum.

Namun seketika ibuku terlihat tersenyum tapi ada kesedihan dalam senyumnya. Entahlah ibuku selalu sedih setiap hari, tak jarang aku selalu memergokinya menangis dikamar. Aku rasa itu semua karena penyakit kanker yang aku derita.  Aku merasa tak enak kepada ibu. Aku pun pergi ke kamar setelah semua pekerjaan dirumahku beres. Di kamar aku merebahkan tubuhku dikasur. Aku punya banyak cita-cita tapi kenapa tuhan memberikan ujian yang begitu berat padaku? Kadang aku putus asa dan menyerah harus selalu merepotkan orang lain. Harus berhenti melangkah bermimpi. Semua karena kanker yang aku idap selama 2 tahun terakhir ini. Kanker ginjal. 

#6
Aku memandang langit kamar yang bertaburan bintang palsu. Aku pun terlelap dalam lamunanku. Dan tidur. Tak kusadari ternyata sudah pukul 3 sore. Aku tersentak dan merasakan nyeri sekali. Aku belum minum obat. Ya ampun. Setelah minum obat, aku mandi dan bersiap untuk les melukis. Aku berpamitan dengan ibuku lalu pergi dengan sepedaku.  Dari kecil sampai sekarang aku selalu menyempatkan diri untuk belajar melukis. Tak jarang akupun suka mengajarkan hal-hal dasar kepada anak baru. Aku senang. Terima kasih sekali kepada ayahku yang selalu memdukungku untuk selalu melukis. Walaupun aku ga terlalu berbakat tapi aku harus selalu melakukan yang terbaik. Setidaknya sebelum kepergianku ada sesuatu karya yang aku ciptakan. Namun hari ini ketika aku akan melukis tidak ada inspirasi sama sekali. Aku malah termenung. Dan tiba-tiba mengingat seorang yang dijumpai pagi tadi. Blur. 

#7
Aku pulang sekitar jam setengah lima. Sambil mengoyahkan pedal sepedaku tak sengaja roda sepeda tergelincir karena ada batu cukup besar menghalangi. Aduh, aku terjatuh. Lecet sedikit dan tidak begitu sakit. Tapi kejadian itu memalukan, karena banyak yang melihatku. Aku bangkit dari jatuh. Laki-laki itu, yah dia memandangku dari rumahnya yang tak begitu jauh dari tempatku. Aku pun pulang sambil merasakan malu.
“ah sialan kenapa harus jatuh ditempat yang banyak orang begitu sih? Huh yasudahlah”umpatku dalam hati.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

[MATERI] CHAPTER 10 AKL 2 - ISU ISU LAIN DALAM PELAPORAN KONSOLIDASI

[MATERI] MATRIKS - MATEMATIKA EKONOMI

[MATERI] Business Planning